Rencana Merger Grab dan GoTo, Ubah Gaya Hidup menjadi Praktis

Merger Grab dan GoTo jadikan Gaya Hidup Modern

Mia Taksaka | MataMata.com
Senin, 17 November 2025 | 13:50 WIB
Pakar Hukum, Lita Paromita Siregar, S.H., LL.M., M.Kn, (ist)

Pakar Hukum, Lita Paromita Siregar, S.H., LL.M., M.Kn, (ist)

Pop.matamata.com - Spekulasi merger Grab dan GoTo tidak hanya menghiasi headline media nasional, namun juga menyita atensi media asing seperti Financial Times.

Media yang berbasis di London, Inggris, menulis jika keduanya bergabung, entitas ini menjadi pemain dominan di Asia Tenggara dengan penguasaan 90 persen pasar ride-hailing di Indonesia.

kebutuhan masyarakat akan aplikasi kendaraan berbasis digital, telah mengubah gaya hidup modern menjadi praktis dan efisien.

‎Menteri Sekretaris Negara, Prasetyo Hadi, kepada media mengonfirmasi terbuka peluang penyatuan Grab dan GoTo, dengan melibatkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) untuk konsolidasi aset-aset strategis.

Proses ini jadi pembahasan lebih lanjut terkait perpres yang tengah digodok untuk mengatur perlindungan serta tarif bagi mitra ojek online.

‎Pakar Hukum, Lita Paromita Siregar, S.H., LL.M., M.Kn mengatakan sederet tantangan regulasi bakal muncul, baik soal penggabungan dua perusahaan raksasa maupun perlindungan hak pekerjaan gig seperti pengemudi ojek online yang makin berkembang.

"Jika merger ini benar terjadi, pemerintah harus memastikan tidak terjadi praktik monopoli atau dominasi pasar berlebihan. Pemerintah wajib memastikan konsolidasi dua raksasa ini tidak melahirkan ketimpangan baru, justru mampu menguatkan ekosistem digital yang adil dan berkelanjutan," tegas Lita Paromita Siregar yang merupakan alumni Faculty of Law Newcastle University, Senin (17/11/2025).

‎Dalam hal ini, algoritma yang digunakan Grab dan GoTo harus lebih transparan.

Tanpa kejelasan transparansi, Lita khawatir muncul ketimpangan dalam distribusi pekerjaan dan penghasilan pengemudi, yang berdampak pada kesejahteraan mitra.

Hal ini sangat penting dijadikan perhatian, terutama jika merger ini kelak menghasilkan penguasa pasar yang lebih besar.

Regulasi yang membatasi potensi penyalahgunaan algoritma menjadi krusial dan perlindungan sosial bagi pengemudi yang bekerja dengan model bisnis fleksibel seperti ini.

"Pengemudi ojol sering terjebak dalam ketidakpastian mengenai hak-hak mereka, karena status yang tidak pernah berhenti jadi perdebatan sebagai mitra atau pekerja," papar Managing Partner BP Lawyers Counselors at Law (BPL).

‎Lita menyarankan proses penyusunan regulasi ini tidak terburu-buru, mengingat besarnya dampak sosial yang bisa terjadi.

Baca Juga: VinFast dan Strategi Cerdas Bikin Mobil Listrik Jadi Gaya Hidup Terjangkau

Pemerintah perlu memastikan setiap langkah yang diputuskan memberi kepastian hukum bagi semua pihak, terutama mitra ojol di garda terdepan.

Potensi Praktik Monopoli dan Dominasi Pasar dalam Perspektif UU No. 5 Tahun 1999

Jika merger Grab dan GoTo terealisasi, maka konsolidasi ini berpotensi menguasai sekitar 91% pangsa pasar ride-hailing Indonesia.

Angka ini sangat signifikan dan secara langsung bersentuhan dengan prinsip anti-monopoli dalam UU No. 5 Tahun 1999, yang melarang penguasaan pasar berlebihan hingga menimbulkan hambatan bagi pelaku usaha lain.

‎Dalam konteks persaingan sehat, posisi dominan ini bisa memicu praktik yang merugikan, baik konsumen maupun mitra pengemudi.

Pemain lain macam Maxim dan InDrive semakin terjepit. Buntutnya: pilihan terbatas, potensi kenaikan tarif, hingga bias algoritma.

‎Lita berharap pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bisa memastikan merger ini tidak menciptakan 'raksasa tunggal' yang bebas menentukan aturan main dan harga pasar.

Pengawasan ketat, transparansi bisnis, dan penegakan regulasi harus berjalan paralel agar tercipta ekosistem kompetitif dan adil bagi seluruh pelaku usaha yang terlibat.

Keamanan Data dan Tantangan Kedaulatan Digital Pasca Merger

Penggabungan Grab dan GoTo juga menimbulkan pertanyaan besar soal keamanan data dan kedaulatan digital, mengingat dua platform ini mengelola data puluhan juta pengguna di Indonesia.

Jika dua entitas ini melebur, aliran data potensial akan semakin terpusat dan membuka risiko kerentanan, terutama karena sebagian aktivitas teknologi dan server perusahaan ride-hailing berada di luar negeri, kawasan Asia Tenggara.

‎Kekhawatiran publik muncul: Apakah data konsumen tetap aman dan tidak bocor ke yurisdiksi asing? Di sini pentingnya peran pemerintah, termasuk kemungkinan keterlibatan BPI Danantara, demi memastikan regulasi perlindungan data berjalan tegas.

"Kebijakan harus mengarah pada model win-win, perusahaan tetap bisa berkembang, namun data pengguna hanya boleh dikelola dan diproses sesuai standar keamanan nasional. Dengan regulasi yang kuat, Indonesia bisa mempertahankan kedaulatan digital tanpa menghambat inovasi sektor ride-hailing," ucap Lita.

‎Membangun Regulasi Adil di Tengah Merger Grab–GoTo

‎Dengan perubahan besar yang tengah memanas, Lita mengingatkan regulasi yang tepat dari pemerintah mampu memastikan merger ini tidak hanya menguntungkan bagi perusahaan tetapi juga memberi keadilan dan perlindungan bagi pengemudi sebagai bagian tidak terpisahkan di bisnis transportasi daring.

‎Merger Grab dan GoTo membuka peluang konsolidasi besar di industri ride-hailing dan bisa mengubah lanskap ekonomi digital Asia Tenggara, namun juga menghadirkan tanggung jawab besar pemerintah memastikan regulasi yang adil.

Di antaranya skema sehat pengawasan persaingan usaha, transparansi algoritma, serta prioritas jaminan sosial bagi pengemudi ojol.

×
Zoomed
Berita Terkait TERKINI

dr Reza Gladys Ikut Acara BPOM...

indo | 14:00 WIB

Audy Item Rilis Lagu 'Nyanyian Timur'...

indo | 15:18 WIB

Your Esscentials Hadirkan Varian Baru 'Melissea'...

indo | 16:06 WIB

RCTI Hadirkan Fitur Shop+ Catalog...

indo | 23:31 WIB

'Indonesian Music Awards (IMA) 2025'...

indo | 23:41 WIB
Tampilkan lebih banyak